Jumat, 14 Oktober 2011

Kekayaan dan Kebahagiaan


Dikisahkan, ada seorang karyawan yang masih muda usia, rajin, dan pekerja keras. Selama bekerja, pantang bagi dia tiba terlambat dan pulang lebih awal. Setiap hari dia berangkat pagi-pagi sekali dan tiba di rumah hingga larut malam. Hal itu dilakukan enam hari dalam seminggu selama bekerja di perusahaan itu.

Suatu hari, karena lelah dan ngantuk luar biasa, dia mengalami kecelakaan yang mengharuskannya beristirahat di rumah sakit. Di sana dia bersebelahan ranjang dengan seorang pria paruh baya. Setelah saling bersapa, tidak berapa lama, mereka pun terlibat obrolan seru.


"Anak muda, dari ceritamu, bapak tahu kamu serorang pekerja keras dan bersemangat. Apa yang membuatmu begitu?" tanya pria tersebut pada si pemuda.

"Saya termotivasi oleh bos saya. Dia orang yang sangat sukses. Kelak saya pun ingin sukses seperti dia, maka saya meneladani sikap dan perilaku bos, agar suatu hari saya bisa sesukses beliau." Si anak muda menjawab dengan penuh semangat.

"Darimana kamu menilai kesuksesan bosmu?"
"Bosku di usia yang sangat muda sudah menghasilkan harta yang berlimpah, memiliki beberapa perusahaan, dan banyak karyawan. Punya relasi orang-orang hebat. Penampilannya juga sangat menawan, dia selalu berpakaian indah. Pokoknya aku sangat mengagumi dan mengidolakan dia."

Lalu, pria itu pun bertanya "Apakah bosmu adalah orang yang bahagia?"

Setelah terdiam sesaat, si pemuda menjawab "Eh...saya kira tidak! Saya jarang sekali melihat atau mendengarnya tertawa. Bahkan tersenyum pun bukan hal yang mudah baginya. Dia menderita sakit maag akut. Keluarganya juga berantakan, istrinya pergi meninggalkan dia. Beberapa kali saya pernah ke rumah bos untuk mengantarkan dokumen dan lainnya. Biarpun rumahnya besar, megah dan mewah, tetapi terasa kosong, sepi, dan tampak suram."

Pemuda itu melanjutkan berbicara, "Pak, jujur saja, selama ini saya tidak pernah memikirkan tentang kebahagiaan. Bagi saya, sukses adalah kaya, hebat, dan keren. Tetapi, sekarang saya tahu, memiliki rumah dan uang yang banyak, ternyata tidak menjamin kebahagiaan."

"Lihatlah anak muda, Tuhan begitu sayang kepadamu. Kecelakaan kecil hari ini, memberimu waktu untuk berpikir dan membenahi diri. Kerja kerasmu selama ini adalah sikap yang baik dan positif, asalkan kamu tahu untuk apa itu semua. Ingin kaya tidaklah salah, tapi usahakan menjadi orang kaya yang bahagia!"
***

Sahabat yang Luar Biasa!

Memiliki kekayaan sebanyak apapun tidak menjamin kebahagiaan orang. Apalagi bila memperolehnya dengan jalan yang tidak halal atau melanggar hukum alam, hukum negara, serta mengorbankan nama baik dan kehormatan diri sendiri dan keluarga. Rasanya, semua nantinya akan sia-sia.

Mari tetap semangat dalam berkarya & berikhtiar dengan cara yang positif, baik, dan halal! Bangun kesuksesan dengan seimbang tanpa mengesampingkan kebahagiaan diri sendiri apalagi keluarga.

Salam sukses, Luar Biasa!


Sumber: http://www.andriewongso.com/artikel/aw_artikel/4324/Kekayaan_dan_Kebahagiaan/

Read More......

You are raising a child, not a hero

Beberapa tahun terakhir ini saya melihat banyak sekali “fotokopi” orangtua macam saya waktu baru punya anak satu. Saya mengakui bahwa di awal-awal menjadi orangtua, saya ingin memiliki anak terbaik di negeri ini kalau perlu di dunia. Sayangnya cita-cita itu sempat terhenti ketika dokter memvonis putri pertamaku akan mengalami autism.
Tapi aku gak pernah menyerah, berkat hubungan baik dengan sahabat dokter yang meskipun jauh tetapi masih mau berbagi ilmu aku melewati banyak tahapan sulit dengan keberhasilan. Satu persatu prestasi diukir putri pertama kami, meskipun untuk anak normal itu adalah hal biasa.
Rupanya melihat keberhasilan putri kami berbicara, mandiri dan pandai membaca walaupun baru TK, aku semakin asyik dengan keinginanku untuk menjadikan putriku juara di sekolah. Aku mendidik dengan keras, memasukkannya ke tempat kursus dan bahkan menangani semua hubungan sosialisasinya dengan teman2nya. Demi putriku juga, aku memutuskan berhenti kerja dan sepenuhnya mendedikasikan semuanya untuk dia.
Hal ini berlanjut pada putraku yang jauh lebih cerdas. Kemampuan mathnya dan nalar sangat baik bahkan seimbang. Hal-hal ini membuatku semakin tenggelam menjadikan putra-putriku murid-murid berprestasi. Lomba melukis, mewarnai, menyanyi, prestasi di kelas harus rangking minimal 3, hafal berlembar2 Alquran atau surah2 pendek adalah targetku selama tahun-tahun tersebut. Suamiku tak pernah berkomentar apapun tentang hal itu selain keinginannya mengajarkan anak-anak beribadah. Kami memang berbagi tugas, aku mengajarkan pendidikan umum sementara suamiku mengajarkan anak-anak tentang Agama Islam. Seringkali ketika ia mencoba berbicara, aku telah memotong dan memintanya untuk respek dengan caraku. Suamiku, yang sesungguhnya tak suka dengan caraku, berusaha menerima karena ia tahu aku tergolong pribadi yang keras. Dia memang ingin anak-anak kami lebih seperti diriku dibanding dia dalam soal prestasi.
Lalu suatu hari setelah putri ketiga kami lahir, Allah S.W.T. memperlihatkanku beberapa hal yang mengusik hati. Putriku sering diganggu teman2 sekelasnya, karena di kelas ia yang paling muda, agak introvert dan juga cengeng. Putraku yang jadi sangat pendiam dan jarang bergerak. Prestasi mereka memang masih sangat bagus, tapi aku melihat tak ada kebahagiaan di mata mereka seperti mereka batita dulu. Senyum Reza hanya terlihat kalau kami berlibur atau bersantai di suatu tempat rekreasi, kalau sudah disuruh belajar, senyumnya langsung lenyap dan dia keliatan sekali seperti terpaksa. Cindy memang lebih baik dalam mengontrol emosinya, tapi dia jadi seringkali berbohong dan menghindari kedatanganku ke sekolahnya karena takut aku bertanya2 tentang pelajarannya. Belum lagi mereka sering jadi bulan-bulanan anak yang lebih besar karena usia anak-anakku memang dua tahun lebih muda dari usia sekolah seharusnya.
Kesedihan karena mengetahui hal ini,membuat aku curhat pada seorang teman yang berprofesi sebagai guru. Sahabatku yang jauh lebih muda sekitar 8 tahunan itu memang ahlinya karena selain udah sarjana, dia mendalami psikologi untuk S2nya. Darinya aku belajar sangat sangat sangat banyak. Bu Cici tak banyak mengajariku, dia hanya memintaku untuk berada dalam posisi anak-anak, belajar memahami perasaan mereka, dan melihat dari sisi anak-anak.
Tadinya gak ngerti, sampai aku melihat seorang anak di kelas TK A Reza muntah2 setelah menjalani test. Aku melihat lebih dari satu kali, para ibu yang bolak balik sekolah dan rumah, yang mengalami dilema saat melihat anak-anak mereka meraung ketika ditinggalkan di sekolah tanpa orangtua. Belum lagi ketika anak-anak mereka ternyata tak mampu mengikuti pelajaran di sekolah, bukannya mendengarkan para guru, mereka malah lebih menyalahkan kemampuan guru.
Kemudian aku juga banyak mendengar dari teman-temanku yang berprofesi sebagai guru di sekolah. Mereka sering mengeluh tentang anak-anak yang terlalu kecil untuk disekolahkan. Mereka lebih banyak kehabisan waktu untuk mengurusi anak-anak itu karena mereka tak bisa pipis sendiri, harus selalu ditemani karena tubuh mereka rentan kalau jatuh, masih suka menangis seperti bayi kalau ditinggal dan terkadang harus berurusan dengan orangtua yang terlalu protektif dan ingin anaknya diperlakukan lebih istimewa daripada yang lain karena usianya yang jauh lebih kecil.
Padahal sekolah adalah tentang kehidupan anak-anak belajar mandiri, belajar tentang banyak hal kehidupan di luar rumah dan menyiapkan mereka untuk kehidupan dewasa mereka kelak. Sayangnya terlalu banyak orangtua yang tak paham bahwa tugas GURU tidaklah sama dengan tugas baby sitter.
Lalu suatu hari seorang kepala sekolah salah satu TK bercerita padaku. Waktu itu aku keheranan melihat ia tampak sibuk berbenah. Dari situ aku menjadi tahu bahwa ada penilik sekolah yang datang dan ia berusaha menyembunyikan buku-buku anak-anak yang mengajarkan tentang menulis dan membaca. Setelah kejadian itu aku bertanya banyak padanya. Dia bilang bahwa di TK memang tidak seharusnya diajarkan tentang menulis dan membaca apalagi berhitung selain perkenalan saja dan kalau ketahuan, TK mereka bisa terkena masalah. Tapi tuntutan SD-SD sekarang memaksa mereka mengajari anak-anak menulis, membaca dan berhitung. Sayangnya mereka mau tak mau harus menerima anak-anak yang sesungguhnya belum siap belajar hal-hal tersebut hanya karena keinginan orangtua, hal ini karena dari pihak Yayasan atau sekolah yang berorientasi pada uang yang terkumpul dan juga jika tidak diterima maka akan ada isu atau gosip miring di luar sana yang berpengaruh bagi nama baik sekolah/yayasan. Apalagi kalau orangtua murid adalah orang-orang yang berpengaruh.
Belajar dari banyak hal yang baru kuketahui, aku mulai hunting informasi dari media forum di internet, dengan sesama orangtua wali murid, dan beberapa kenalan guru.
Aku bahkan mencari informasi pada beberapa kenalan dari luar negeri. Beruntungnya aku ternyata salah satu dari mereka adalah seorang penuis yang telah menulis banyak buku, dan dia mendedikasikan kehidupan pensiunnya untuk anak-anak. Darinya aku tahu bahwa pelajaran di Indonesia lebih berorientasi pada kemampuan otak bukan pada kemampuan berpikir. Pelajaran anak-anak SD kita lebih tinggi dari anak-anak di elementary school mereka, pelajaran di Indonesia juga terlalu banyak variasinya sementara di luar negeri anak-anak bisa memilih pelajaran dan jumlah pelajarannya sangat sedikit dengan difokuskan pada pengembangan pola pikir anak. Jika di luar sana, anak 10 tahun bisa menulis 200 kata tentang kejadian 9/11, anak-anak di negeri kita mungkin malah sibuk bertanya “memangnya ada kejadian apa? Apa itu sebuah sistem pembagian baru?”
Dan terakhir aku mengingatkan apa yang terjadi pada diriku. Dulu aku selalu berprestasi di sekolah, selalu masuk 3 besar, meskipun berpindah-pindah sekolah tetap saja prestasiku gak berubah bahkan lulus SMEA dengan prestasi nasional, bahkan beberapa kali ikut kegiatan nasional. Tapi semua itu tidak berarti ketika aku terjun ke dunia kerja. Tak ada yang bertanya tentang raportku, tak ada yang bertanya tentang berbagai prestasi yang kudapatkan. Yang mereka tanyakan adalah kemampuanku memanajemen pekerjaan, menghadapi orang-orang yang berbeda karakter, aku harus belajar dari awal cara bersosialisasi secara profesional, aku juga harus belajar mandiri karena di kantor semua orang hanya memikirkan diri mereka masing-masing. Aku bahkan tak mengira bahwa kemampuan berdandanpun harus kupelajari karena tuntutan pekerjaan, sesuatu yang paling aku tidak suka. Pekerjaan sebagai sekretaris bukan cuma bicara tentang kemampuan di atas kertas, tapi hampir seluruh kegiatan termasuk aktivitas sosial. Dulu aku tergolong anak introvert karena terlalu rajin belajar, sehingga kurang bersosialisasi. Tentu saja menyulitkan harus bisa beradaptasi dengan dunia baru yang sangat asing bagiku itu.
Dari suamiku yang kuajak berdiskusipun mengambil hikmah yang sama. Di sekolah ia tergolong anak “biasa” dan dulu lebih suka sport, melukis dan menulis, karena itu aku bertanya dari sisinya. Tetapi ia pun setuju bahwa di dunia pekerjaan, bodoh dan pintar itu tidak ada gunanya, kemampuan sosialisasi, mental dan emosional orang sangat mempengaruhi keberadaan seseorang di dunia pekerjaan.
Akhirnya aku mengambil keputusan besar. Berbekal sebuah kalimat yang menggugahku “You are raising a child, not a hero”. aku memulai cara baru menjadi orangtua. Aku berhenti mengubah dunia anak-anak. Aku mengubah tujuan hidupku untuk anak-anak. Anak-anak adalah diri mereka masing-masing, saat ini mereka belum menentukan apapun dan tugasku hanyalah membantu mereka. Kebahagiaan adalah hal penting yang harus kudahulukan untuk mereka.
Keputusan ini tentu tidak mudah untuk suami dan anak-anak yang sudah terbiasa dengan “program” mama  yang galak. Kuawali dengan tidak membatasi pergaulan mereka, tetapi memonitor secara diam-diam. Cindy boleh memakai komputer dan internet, tapi hampir setiap minggu aku mengecek facebook friendsnya. Sesekali mereka juga boleh mengundang teman-teman mereka dan menggunakan salah satu ruangan di rumah dengan syarat tak boleh masuk ke ruang sholat dan setelah itu harus dibereskan. Reza belum boleh bermain keluar rumah karena paru-paru masih sangat rentan, tapi ia boleh bermain di ruang main sepuasnya tanpa dibatasi waktu yang penting dia sudah mengerjakan PR atau belajar selama 30 menit.
Aku juga tak pernah menunggui mereka mengerjakan PR kecuali mereka yang minta, itupun aku tak pernah terlalu fokus, hanya sesekali meliriknya kalau ada yang ditanyakan. Paling-paling mereka bertanya apa arti dari kata “A” atau gimana caranya. Jika berkali2 dijelaskan mereka tetap tak bisa, aku membiarkan mereka mengosongkan jawabannya. Guru-guru mereka sudah tahu kalau itu artinya anakku belum paham.
Cindy yang selalu berantakan (kayak mamanya dulu) kubiarkan dia menghadapi jadwalnya yang padat sesuai permintaannya, aku sudah menawarkan untuk pindah sekolah atau mengurangi kegiatannya tapi dia tidak mau. Dulu biasanya aku yang menyiapkan segalanya untuk nya, sekarang meskipun aku tahu ada yang tertinggal aku membiarkannya, beberapa kali aku dimarahi olehnya karena tak mau membantunya, tetapi aku menjawab dengan santai “Tapi akhirnya tidak ada masalah kan!” Rupanya program “everything must be perfect”ku dulu tertular padanya. Aku ingin mengajarinya bahwa tak semua selalu sesuai dengan rencana, dan dia harus pandai menghadapi situasi tersebut. Misalnya ketika ia lupa membawa mukena, ia akhirnya belajar meminjam pada temannya atau ketika ia lupa mengerjakan membawa PRnya, ia belajar bernegosiasi dengan gurunya dengan meminta gurunya meneleponku untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar sudah mengerjakan PR. Prestasinya juga tidak melorot tajam, justru jauh lebih baik karena sekarang dia lebih ceria, lebih mudah diajak bicara, bisa kumintai tolong dan paling penting dia mau bercurhat ria dengan mamanya….
Reza mungkin belum sepenuhnya kembali. Tapi setidaknya kini dia lebih ceria, mengerjakan PR pun meski lama tetapi hasilnya sangat baik. Aku mengajaknya bicara setelah awal semester guru kelasnya bilang Reza naik percobaan enam bulan. Aku bilang aku tidak masalah kalau Reza tidak naik kelas, tapi kalau Reza sendiri bagaimana dan dia menjawabnya dengan santai “yang gapapalah ma, enak lagi diajarin bu nuraini yang baik lagi”. Maka setelah itu akupun bicara pada guru kelas 2nya, tak apa kalau reza memang harus kembali duduk di kelas 1 dan harus mengulang. Aku tak mau menuntutnya dengan berbagai pelajaran kalau memang dia tak mampu, dan aku meminta gurunya pun tidak memaksanya.
Aku tahu pasti guru anakku terkejut mendengarku bicara seperti itu. Suamiku saja langsung terdiam. Tapi setelah kujelaskan kenapa, dia tampak senang. Hasilnya, putraku lebih santai dan belajar juga dengan hati senang. Prestasinya memang biasa-biasa saja, tapi secara keseluruhan ia terlihat lebih bahagia. Kami juga lebih dekat satu sama lain. Ia pun mulai berani memelukku sama seperti ketika usia batita dulu.
Anakku yang kedua ini tergolong picky eater dengan kesehatan yang sangat rentan. Setelah kuberi kebebasan memilih aktivitasnya, ia langsung meminta diikutkan dalam eskul bola dan taekwondo. Walaupun sedikit ngeri, tapi aku harus konsisten. Kini ia kelihatan lebih sehat, jarang memilih-milih makan seperti dulu, karena sekarang dia makan dengan lahap dan kadang-kadang sambil bercerita penuh semangat  kalau dia berhasil melakukan tendangan ke gawang atau berhasil mengalahkan sparing patnernya di Dojo. Aku jadi terenyuh saat teringat dia dulu harus menjalani eskul Marawis. Aah, suamiku saja tertawa setiap kali dia teringat hal itu.
Untuk putri ketigaku, sudah pasti aku tetap menjalani sistemku ini. Meskipun aku tahu, Fira adalah anak kami dengan kecerdasan yang tinggi. Aku tetap konsisten untuk menyekolahkan saat usianya benar-benar sesuai. Karena aku tahu, meskipun cerdas dan mampu bersekolah di usia yang sama dengan kakak2nya, Fira masih belum mampu mengendalikan emosinya. Maklum anak terakhir, dan dia terlahir lucu seperti mamanya (ehem… :)) apalagi hampir semua keinginanku ada padanya. Dia terlahir dengan tubuh sehat, tanpa penyakit bawaan seperti kedua kakaknya, cerdas dan parasnya gabungan dariku dan ayahnya. Seharusnya dia lahir melalui operasi caesar di hari ulang tahunku, tapi aku memilih mengundurkannya beberapa hari karena saat itu Ibuku belum datang, satu-satunya orang yang bisa kupercayai menjaga anak-anakku saat itu. Fira hampir sempurna sebagai anak yang “kupesan” pada Allah, sehingga aku tak mau merusaknya seperti kedua kakaknya.
Aku sudah lama melupakan berbagai aturan diktator yang pernah kubuat dan mengubahnya jadi 3 aturan saja, Yaitu tidak boleh memukul adik atau kakak, tidak boleh berbohong terutama pada orangtua dan terakhir tidak boleh mencuri atau mengambil milik orang tanpa izin. Tiga aturan yang sangat penting untuk hidup mereka sekarang dan nanti.
Jadi kini aku berkata, Aku tak membesarkan calon pahlawan yang sempurna, yang pintar, atau yang berprestasi, tapi aku membesarkan seorang anak dengan segala macam kelebihan dan kekurangan mereka. Aku ingin mereka belajar bahwa tak perlu jadi sempurna asalkan mereka mampu menjalani kehidupan ini dan paling penting mereka bahagia menjadi anak-anakku. Prestasi hanyalah sesuatu yang ditambahkan sebagai bonus, bukan karena keterpaksaan.
***

Read More......

Kisah Inspirasi Untuk Para Istri & Suami

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
***

Read More......

Arti Ayah untuk Seorang Gadis Kecil

Gadis kecil itu sedang bersiap-siap ke sekolah, ia menghabiskan sarapan paginya penuh semangat. Hari ini adalah hari dimana ia harus berbicara tentang ayah. Ibu kelihatan kuatir karena tahu apa yang hadapi putrinya nanti. Ia berbisik agar si kecil yang ceria tak usah masuk sekolah saja hari ini, tetapi si anak berkuncir dua itu hanya tertawa dan berkata ini "Ini kesempatan memberitahu teman-temanku siapa sebenarnya ayahku, ibu.” 
Mereka tiba di ruang pertemuan sekolah. Ruangan itu ramai dengan para ayah yang menemani putra-putri mereka, malah beberapa dari ibu mereka juga ikut mendampingi. Hanya si gadis kecil yang duduk bersama ibunya. Ibunya menunduk menyembunyikan kegalauan sementara si putri sibuk menyapa teman-temannya dengan riang. 
Satu persatu anak-anak maju ke depan, bercerita tentang ayah mereka. Si gadis kecil memperhatikan dengan seksama membuat si ibu semakin gundah. Tangannya yang gemetar tak mampu mengusir kekuatiran menunggu giliran si gadis kecil. 
Akhirnya tibalah giliran si gadis kecil. Saat ia berdiri, sang ibu sempat ragu namun si gadis kecil meraih tangannya dan mengajaknya ke depan. Mereka berjalan di tengah pandangan sinis orang-orang yang berbisik “ayah macam apa yang tak bisa menemani putrinya di hari sepenting ini.” Si ibu duduk di mana seorang ayah seharusnya duduk menemani si gadis kecil dan di depannya si gadis kecil memulai kisahnya tentang ayah. 
Ayah yang kukenal bukanlah ayah yang menemaniku bermain bola, bukan ayah yang bisa menciumku setiap saat dia inginkan, bukan ayah yang bisa kusambut ketika ia pulang kerja, juga bukan ayah yang bisa membelaku saat aku diganggu anak yang nakal, dia  juga bukan ayah yang bisa menemaniku saat aku sedang sakit, bahkan ayah tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun untukku walaupun sekali saja. Tetapi bukan karena ayahku jahat atau terlalu mementingkan pekerjaannya, ayahku mungkin terlalu baik hingga Tuhan ingin ayah bersamaNya. Aku tak membenci Tuhan karena aku tahu Tuhan sangat sayang padaku dan Ayah, Tuhan pasti punya rencana lain untuk kami hingga ia memisahkan aku dan ayah.” 
Gadis kecil terdiam dan memandang kesekelilingnya, menatap wajah-wajah di hadapannya, “Ayah memang tak pernah ada di sisiku, tapi ia menemaniku setiap saat. Setiap kali aku bersedih, aku hanya tinggal menutup mataku sejenak dan memanggil namanya. Ia akan datang meskipun cuma aku yang tahu karena hatiku merasakannya. Ketika aku rindu menatap wajahnya, foto ayah akan menemaniku dalam tidur. Ayah memang tak bisa mengajariku bermain ataupun belajar, tapi ia mengajariku menjadi anak yang mandiri karena aku tak punya ayah yang membantuku, aku belajar menjadi anak yang berani karena tak ada ayah yang membelaku, aku belajar menjadi anak berprestasi karena aku ingin ayahku bangga di surga sana, aku ingin berhasil menjadi dokter karena aku ingin ibu punya alasan untuk melanjutkan hidupnya.” 
Lalu ia diam sejenak, menutup mata dan berbisik, “aku beruntung karena ada ibu yang menemaniku, yang membantuku mengenal ayah sejak aku bayi dan aku tahu ayah ada di sini, melihatku dengan senang karena aku sudah memperkenalkannya pada semua agar semua orang tahu betapa berartinya ayah bagiku. Suatu hari nanti jika aku bisa bertemu dengannya di surga, aku akan berkata aku mencintainya dan selalu bangga menjadi anaknya.” 
Semoga Para ayah sekarang menyadari betapa berartinya kehadiran mereka untuk anak-anak mereka.
***

Read More......