Beberapa tahun terakhir ini saya melihat banyak sekali “fotokopi” orangtua macam saya waktu baru punya anak satu. Saya mengakui bahwa di awal-awal menjadi orangtua, saya ingin memiliki anak terbaik di negeri ini kalau perlu di dunia. Sayangnya cita-cita itu sempat terhenti ketika dokter memvonis putri pertamaku akan mengalami autism.
Tapi aku gak pernah menyerah, berkat hubungan baik dengan sahabat dokter yang meskipun jauh tetapi masih mau berbagi ilmu aku melewati banyak tahapan sulit dengan keberhasilan. Satu persatu prestasi diukir putri pertama kami, meskipun untuk anak normal itu adalah hal biasa.
Rupanya melihat keberhasilan putri kami berbicara, mandiri dan pandai membaca walaupun baru TK, aku semakin asyik dengan keinginanku untuk menjadikan putriku juara di sekolah. Aku mendidik dengan keras, memasukkannya ke tempat kursus dan bahkan menangani semua hubungan sosialisasinya dengan teman2nya. Demi putriku juga, aku memutuskan berhenti kerja dan sepenuhnya mendedikasikan semuanya untuk dia.
Hal ini berlanjut pada putraku yang jauh lebih cerdas. Kemampuan mathnya dan nalar sangat baik bahkan seimbang. Hal-hal ini membuatku semakin tenggelam menjadikan putra-putriku murid-murid berprestasi. Lomba melukis, mewarnai, menyanyi, prestasi di kelas harus rangking minimal 3, hafal berlembar2 Alquran atau surah2 pendek adalah targetku selama tahun-tahun tersebut. Suamiku tak pernah berkomentar apapun tentang hal itu selain keinginannya mengajarkan anak-anak beribadah. Kami memang berbagi tugas, aku mengajarkan pendidikan umum sementara suamiku mengajarkan anak-anak tentang Agama Islam. Seringkali ketika ia mencoba berbicara, aku telah memotong dan memintanya untuk respek dengan caraku. Suamiku, yang sesungguhnya tak suka dengan caraku, berusaha menerima karena ia tahu aku tergolong pribadi yang keras. Dia memang ingin anak-anak kami lebih seperti diriku dibanding dia dalam soal prestasi.
Lalu suatu hari setelah putri ketiga kami lahir, Allah S.W.T. memperlihatkanku beberapa hal yang mengusik hati. Putriku sering diganggu teman2 sekelasnya, karena di kelas ia yang paling muda, agak introvert dan juga cengeng. Putraku yang jadi sangat pendiam dan jarang bergerak. Prestasi mereka memang masih sangat bagus, tapi aku melihat tak ada kebahagiaan di mata mereka seperti mereka batita dulu. Senyum Reza hanya terlihat kalau kami berlibur atau bersantai di suatu tempat rekreasi, kalau sudah disuruh belajar, senyumnya langsung lenyap dan dia keliatan sekali seperti terpaksa. Cindy memang lebih baik dalam mengontrol emosinya, tapi dia jadi seringkali berbohong dan menghindari kedatanganku ke sekolahnya karena takut aku bertanya2 tentang pelajarannya. Belum lagi mereka sering jadi bulan-bulanan anak yang lebih besar karena usia anak-anakku memang dua tahun lebih muda dari usia sekolah seharusnya.
Kesedihan karena mengetahui hal ini,membuat aku curhat pada seorang teman yang berprofesi sebagai guru. Sahabatku yang jauh lebih muda sekitar 8 tahunan itu memang ahlinya karena selain udah sarjana, dia mendalami psikologi untuk S2nya. Darinya aku belajar sangat sangat sangat banyak. Bu Cici tak banyak mengajariku, dia hanya memintaku untuk berada dalam posisi anak-anak, belajar memahami perasaan mereka, dan melihat dari sisi anak-anak.
Tadinya gak ngerti, sampai aku melihat seorang anak di kelas TK A Reza muntah2 setelah menjalani test. Aku melihat lebih dari satu kali, para ibu yang bolak balik sekolah dan rumah, yang mengalami dilema saat melihat anak-anak mereka meraung ketika ditinggalkan di sekolah tanpa orangtua. Belum lagi ketika anak-anak mereka ternyata tak mampu mengikuti pelajaran di sekolah, bukannya mendengarkan para guru, mereka malah lebih menyalahkan kemampuan guru.
Kemudian aku juga banyak mendengar dari teman-temanku yang berprofesi sebagai guru di sekolah. Mereka sering mengeluh tentang anak-anak yang terlalu kecil untuk disekolahkan. Mereka lebih banyak kehabisan waktu untuk mengurusi anak-anak itu karena mereka tak bisa pipis sendiri, harus selalu ditemani karena tubuh mereka rentan kalau jatuh, masih suka menangis seperti bayi kalau ditinggal dan terkadang harus berurusan dengan orangtua yang terlalu protektif dan ingin anaknya diperlakukan lebih istimewa daripada yang lain karena usianya yang jauh lebih kecil.
Padahal sekolah adalah tentang kehidupan anak-anak belajar mandiri, belajar tentang banyak hal kehidupan di luar rumah dan menyiapkan mereka untuk kehidupan dewasa mereka kelak. Sayangnya terlalu banyak orangtua yang tak paham bahwa tugas GURU tidaklah sama dengan tugas baby sitter.
Lalu suatu hari seorang kepala sekolah salah satu TK bercerita padaku. Waktu itu aku keheranan melihat ia tampak sibuk berbenah. Dari situ aku menjadi tahu bahwa ada penilik sekolah yang datang dan ia berusaha menyembunyikan buku-buku anak-anak yang mengajarkan tentang menulis dan membaca. Setelah kejadian itu aku bertanya banyak padanya. Dia bilang bahwa di TK memang tidak seharusnya diajarkan tentang menulis dan membaca apalagi berhitung selain perkenalan saja dan kalau ketahuan, TK mereka bisa terkena masalah. Tapi tuntutan SD-SD sekarang memaksa mereka mengajari anak-anak menulis, membaca dan berhitung. Sayangnya mereka mau tak mau harus menerima anak-anak yang sesungguhnya belum siap belajar hal-hal tersebut hanya karena keinginan orangtua, hal ini karena dari pihak Yayasan atau sekolah yang berorientasi pada uang yang terkumpul dan juga jika tidak diterima maka akan ada isu atau gosip miring di luar sana yang berpengaruh bagi nama baik sekolah/yayasan. Apalagi kalau orangtua murid adalah orang-orang yang berpengaruh.
Belajar dari banyak hal yang baru kuketahui, aku mulai hunting informasi dari media forum di internet, dengan sesama orangtua wali murid, dan beberapa kenalan guru.
Aku bahkan mencari informasi pada beberapa kenalan dari luar negeri. Beruntungnya aku ternyata salah satu dari mereka adalah seorang penuis yang telah menulis banyak buku, dan dia mendedikasikan kehidupan pensiunnya untuk anak-anak. Darinya aku tahu bahwa pelajaran di Indonesia lebih berorientasi pada kemampuan otak bukan pada kemampuan berpikir. Pelajaran anak-anak SD kita lebih tinggi dari anak-anak di elementary school mereka, pelajaran di Indonesia juga terlalu banyak variasinya sementara di luar negeri anak-anak bisa memilih pelajaran dan jumlah pelajarannya sangat sedikit dengan difokuskan pada pengembangan pola pikir anak. Jika di luar sana, anak 10 tahun bisa menulis 200 kata tentang kejadian 9/11, anak-anak di negeri kita mungkin malah sibuk bertanya “memangnya ada kejadian apa? Apa itu sebuah sistem pembagian baru?”
Dan terakhir aku mengingatkan apa yang terjadi pada diriku. Dulu aku selalu berprestasi di sekolah, selalu masuk 3 besar, meskipun berpindah-pindah sekolah tetap saja prestasiku gak berubah bahkan lulus SMEA dengan prestasi nasional, bahkan beberapa kali ikut kegiatan nasional. Tapi semua itu tidak berarti ketika aku terjun ke dunia kerja. Tak ada yang bertanya tentang raportku, tak ada yang bertanya tentang berbagai prestasi yang kudapatkan. Yang mereka tanyakan adalah kemampuanku memanajemen pekerjaan, menghadapi orang-orang yang berbeda karakter, aku harus belajar dari awal cara bersosialisasi secara profesional, aku juga harus belajar mandiri karena di kantor semua orang hanya memikirkan diri mereka masing-masing. Aku bahkan tak mengira bahwa kemampuan berdandanpun harus kupelajari karena tuntutan pekerjaan, sesuatu yang paling aku tidak suka. Pekerjaan sebagai sekretaris bukan cuma bicara tentang kemampuan di atas kertas, tapi hampir seluruh kegiatan termasuk aktivitas sosial. Dulu aku tergolong anak introvert karena terlalu rajin belajar, sehingga kurang bersosialisasi. Tentu saja menyulitkan harus bisa beradaptasi dengan dunia baru yang sangat asing bagiku itu.
Dari suamiku yang kuajak berdiskusipun mengambil hikmah yang sama. Di sekolah ia tergolong anak “biasa” dan dulu lebih suka sport, melukis dan menulis, karena itu aku bertanya dari sisinya. Tetapi ia pun setuju bahwa di dunia pekerjaan, bodoh dan pintar itu tidak ada gunanya, kemampuan sosialisasi, mental dan emosional orang sangat mempengaruhi keberadaan seseorang di dunia pekerjaan.
Akhirnya aku mengambil keputusan besar. Berbekal sebuah kalimat yang menggugahku “You are raising a child, not a hero”. aku memulai cara baru menjadi orangtua. Aku berhenti mengubah dunia anak-anak. Aku mengubah tujuan hidupku untuk anak-anak. Anak-anak adalah diri mereka masing-masing, saat ini mereka belum menentukan apapun dan tugasku hanyalah membantu mereka. Kebahagiaan adalah hal penting yang harus kudahulukan untuk mereka.
Keputusan ini tentu tidak mudah untuk suami dan anak-anak yang sudah terbiasa dengan “program” mama yang galak. Kuawali dengan tidak membatasi pergaulan mereka, tetapi memonitor secara diam-diam. Cindy boleh memakai komputer dan internet, tapi hampir setiap minggu aku mengecek facebook friendsnya. Sesekali mereka juga boleh mengundang teman-teman mereka dan menggunakan salah satu ruangan di rumah dengan syarat tak boleh masuk ke ruang sholat dan setelah itu harus dibereskan. Reza belum boleh bermain keluar rumah karena paru-paru masih sangat rentan, tapi ia boleh bermain di ruang main sepuasnya tanpa dibatasi waktu yang penting dia sudah mengerjakan PR atau belajar selama 30 menit.
Aku juga tak pernah menunggui mereka mengerjakan PR kecuali mereka yang minta, itupun aku tak pernah terlalu fokus, hanya sesekali meliriknya kalau ada yang ditanyakan. Paling-paling mereka bertanya apa arti dari kata “A” atau gimana caranya. Jika berkali2 dijelaskan mereka tetap tak bisa, aku membiarkan mereka mengosongkan jawabannya. Guru-guru mereka sudah tahu kalau itu artinya anakku belum paham.
Cindy yang selalu berantakan (kayak mamanya dulu) kubiarkan dia menghadapi jadwalnya yang padat sesuai permintaannya, aku sudah menawarkan untuk pindah sekolah atau mengurangi kegiatannya tapi dia tidak mau. Dulu biasanya aku yang menyiapkan segalanya untuk nya, sekarang meskipun aku tahu ada yang tertinggal aku membiarkannya, beberapa kali aku dimarahi olehnya karena tak mau membantunya, tetapi aku menjawab dengan santai “Tapi akhirnya tidak ada masalah kan!” Rupanya program “everything must be perfect”ku dulu tertular padanya. Aku ingin mengajarinya bahwa tak semua selalu sesuai dengan rencana, dan dia harus pandai menghadapi situasi tersebut. Misalnya ketika ia lupa membawa mukena, ia akhirnya belajar meminjam pada temannya atau ketika ia lupa mengerjakan membawa PRnya, ia belajar bernegosiasi dengan gurunya dengan meminta gurunya meneleponku untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar sudah mengerjakan PR. Prestasinya juga tidak melorot tajam, justru jauh lebih baik karena sekarang dia lebih ceria, lebih mudah diajak bicara, bisa kumintai tolong dan paling penting dia mau bercurhat ria dengan mamanya….
Reza mungkin belum sepenuhnya kembali. Tapi setidaknya kini dia lebih ceria, mengerjakan PR pun meski lama tetapi hasilnya sangat baik. Aku mengajaknya bicara setelah awal semester guru kelasnya bilang Reza naik percobaan enam bulan. Aku bilang aku tidak masalah kalau Reza tidak naik kelas, tapi kalau Reza sendiri bagaimana dan dia menjawabnya dengan santai “yang gapapalah ma, enak lagi diajarin bu nuraini yang baik lagi”. Maka setelah itu akupun bicara pada guru kelas 2nya, tak apa kalau reza memang harus kembali duduk di kelas 1 dan harus mengulang. Aku tak mau menuntutnya dengan berbagai pelajaran kalau memang dia tak mampu, dan aku meminta gurunya pun tidak memaksanya.
Aku tahu pasti guru anakku terkejut mendengarku bicara seperti itu. Suamiku saja langsung terdiam. Tapi setelah kujelaskan kenapa, dia tampak senang. Hasilnya, putraku lebih santai dan belajar juga dengan hati senang. Prestasinya memang biasa-biasa saja, tapi secara keseluruhan ia terlihat lebih bahagia. Kami juga lebih dekat satu sama lain. Ia pun mulai berani memelukku sama seperti ketika usia batita dulu.
Anakku yang kedua ini tergolong picky eater dengan kesehatan yang sangat rentan. Setelah kuberi kebebasan memilih aktivitasnya, ia langsung meminta diikutkan dalam eskul bola dan taekwondo. Walaupun sedikit ngeri, tapi aku harus konsisten. Kini ia kelihatan lebih sehat, jarang memilih-milih makan seperti dulu, karena sekarang dia makan dengan lahap dan kadang-kadang sambil bercerita penuh semangat kalau dia berhasil melakukan tendangan ke gawang atau berhasil mengalahkan sparing patnernya di Dojo. Aku jadi terenyuh saat teringat dia dulu harus menjalani eskul Marawis. Aah, suamiku saja tertawa setiap kali dia teringat hal itu.
Untuk putri ketigaku, sudah pasti aku tetap menjalani sistemku ini. Meskipun aku tahu, Fira adalah anak kami dengan kecerdasan yang tinggi. Aku tetap konsisten untuk menyekolahkan saat usianya benar-benar sesuai. Karena aku tahu, meskipun cerdas dan mampu bersekolah di usia yang sama dengan kakak2nya, Fira masih belum mampu mengendalikan emosinya. Maklum anak terakhir, dan dia terlahir lucu seperti mamanya (ehem… :)) apalagi hampir semua keinginanku ada padanya. Dia terlahir dengan tubuh sehat, tanpa penyakit bawaan seperti kedua kakaknya, cerdas dan parasnya gabungan dariku dan ayahnya. Seharusnya dia lahir melalui operasi caesar di hari ulang tahunku, tapi aku memilih mengundurkannya beberapa hari karena saat itu Ibuku belum datang, satu-satunya orang yang bisa kupercayai menjaga anak-anakku saat itu. Fira hampir sempurna sebagai anak yang “kupesan” pada Allah, sehingga aku tak mau merusaknya seperti kedua kakaknya.
Aku sudah lama melupakan berbagai aturan diktator yang pernah kubuat dan mengubahnya jadi 3 aturan saja, Yaitu tidak boleh memukul adik atau kakak, tidak boleh berbohong terutama pada orangtua dan terakhir tidak boleh mencuri atau mengambil milik orang tanpa izin. Tiga aturan yang sangat penting untuk hidup mereka sekarang dan nanti.
Jadi kini aku berkata, Aku tak membesarkan calon pahlawan yang sempurna, yang pintar, atau yang berprestasi, tapi aku membesarkan seorang anak dengan segala macam kelebihan dan kekurangan mereka. Aku ingin mereka belajar bahwa tak perlu jadi sempurna asalkan mereka mampu menjalani kehidupan ini dan paling penting mereka bahagia menjadi anak-anakku. Prestasi hanyalah sesuatu yang ditambahkan sebagai bonus, bukan karena keterpaksaan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar