Kamis, 15 Desember 2011

Tiga Kalimat Terlarang

"Saya ingin selesaikan kuliah dalam 3 tahun."

"Target penjualan tahun ini harus 20x lebih besar dari tahun sebelumnya."

"Saya ingin menjadi penulis skenario Indonesia pertama yang dikenal dunia."

Itulah sedikit contoh target dan impian yang sering kita canangkan untuk diri kita sendiri. Seringnya kita memulai perjuangan menuju mimpi besar itu dengan semangat '45, semangat yang berkobar-kobar. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya aral yang kita temui, kobaran itu perlahan meredup.

Karena merasa lelah harus setiap saat menghadapi "batu penghadang", biasanya mulai muncul kalimat-kalimat pamungkas yang sebenarnya bersifat sangat terlarang. Inilah 3 kalimat terlarang yang harus kita singkirkan sejauh mungkin.

1. Saya Tidak Bisa
Begitu kalimat ini sudah kita lontarkan, otomatis pintu pikiran kita akan tertutup untuk mencari jalan dan mencoba. Ucapan itu akan mengirimkan sinyal langsung ke dalam otak dan memblokir bagian kreatif otak kita. Akibatnya, kita cenderung menyerah begitu saja dan bersikap pasrah. Sebaliknya, apabila yang kita ucapkan pada diri sendiri adalah "Saya Bisa", otak kita akan bekerja secara otomatis untuk menemukan solusi atas masalah dan sebab kegagalan kita.


2. Tidak Mungkin
Dengan mengambil sikap seperti itu dan selalu mengatakan "Tidak mungkin" pada setiap peluang karena sudah mengalami begitu banyak kekalahan, kita akan sulit meraih sesuatu yang hebat. Karena sebenarnya hampir segala sesuatu yang kita nikmati hari ini adalah sesuatu yang mustahil di hari kemarin.


3. Saya Sudah Tahu 
Salah satu kunci orang sukses adalah tidak pernah berhenti belajar. Kapan dan di mana pun kita harus mau belajar dari apa dan siapa pun. Jika kita mengucapkan "Saya Sudah Tahu", sebenarnya kita sedang menutup pintu pembelajaran. Kita tidak lagi berusaha untuk mempelajari hal-hal baru.

"
You Are What You Think You Are". Jika isi pikiran kita dipenuhi dengan ketiga kalimat di atas, sudah bisa dipastikan kita akan menjadi seperti yang kita pikirkan. Kita akan terus terpuruk di dalam kubangan kegagalan, tidak berani bangkit dan melangkah maju. Kita juga akan berjalan di tempat karena tidak ada sesuatu hal baru yang kita ketahui. Kita tidak bisa bergerak maju ke depan karena pengetahuan yang kita miliki yang kita pikir sudah cukup banyak itu tidak bisa membuat kita melangkahkan kaki ke depan.

Mari, buang jauh-jauh 3 kalimat terlarang tadi dan segera penuhi pikiran kita dengan 3 kalimat yang merupakan kebalikannya. "Saya Bisa"; "Itu Sangat Mungkin"; dan "Saya Masih Perlu Belajar Lagi".

***

Read More......

Nilai Kehidupan

Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walapun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.

Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti." Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon. Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut.

"Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."

Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya. "Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."

Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain".Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain". Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.

***

Teman-teman yang luar biasa, kalau kita mengisi kehidupan ini dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita menjalani hidup ini (dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan memungkinkan kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri. Sebaliknya, kalau kita mampu menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan menggairahkan, tentu kita akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita, setiap hari penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya. Maka, jangan melayani perasaan negatif. Usir segera. Biasakan memelihara pikiran positif, sikap positif, dan tindakan positif. Dengan demikian kita akan menjalani kehidupan ini penuh dengan syukur, semangat, dan sukses luar biasa!

Salam sukses luar biasa!!!

Read More......

Jumat, 14 Oktober 2011

Kekayaan dan Kebahagiaan


Dikisahkan, ada seorang karyawan yang masih muda usia, rajin, dan pekerja keras. Selama bekerja, pantang bagi dia tiba terlambat dan pulang lebih awal. Setiap hari dia berangkat pagi-pagi sekali dan tiba di rumah hingga larut malam. Hal itu dilakukan enam hari dalam seminggu selama bekerja di perusahaan itu.

Suatu hari, karena lelah dan ngantuk luar biasa, dia mengalami kecelakaan yang mengharuskannya beristirahat di rumah sakit. Di sana dia bersebelahan ranjang dengan seorang pria paruh baya. Setelah saling bersapa, tidak berapa lama, mereka pun terlibat obrolan seru.


"Anak muda, dari ceritamu, bapak tahu kamu serorang pekerja keras dan bersemangat. Apa yang membuatmu begitu?" tanya pria tersebut pada si pemuda.

"Saya termotivasi oleh bos saya. Dia orang yang sangat sukses. Kelak saya pun ingin sukses seperti dia, maka saya meneladani sikap dan perilaku bos, agar suatu hari saya bisa sesukses beliau." Si anak muda menjawab dengan penuh semangat.

"Darimana kamu menilai kesuksesan bosmu?"
"Bosku di usia yang sangat muda sudah menghasilkan harta yang berlimpah, memiliki beberapa perusahaan, dan banyak karyawan. Punya relasi orang-orang hebat. Penampilannya juga sangat menawan, dia selalu berpakaian indah. Pokoknya aku sangat mengagumi dan mengidolakan dia."

Lalu, pria itu pun bertanya "Apakah bosmu adalah orang yang bahagia?"

Setelah terdiam sesaat, si pemuda menjawab "Eh...saya kira tidak! Saya jarang sekali melihat atau mendengarnya tertawa. Bahkan tersenyum pun bukan hal yang mudah baginya. Dia menderita sakit maag akut. Keluarganya juga berantakan, istrinya pergi meninggalkan dia. Beberapa kali saya pernah ke rumah bos untuk mengantarkan dokumen dan lainnya. Biarpun rumahnya besar, megah dan mewah, tetapi terasa kosong, sepi, dan tampak suram."

Pemuda itu melanjutkan berbicara, "Pak, jujur saja, selama ini saya tidak pernah memikirkan tentang kebahagiaan. Bagi saya, sukses adalah kaya, hebat, dan keren. Tetapi, sekarang saya tahu, memiliki rumah dan uang yang banyak, ternyata tidak menjamin kebahagiaan."

"Lihatlah anak muda, Tuhan begitu sayang kepadamu. Kecelakaan kecil hari ini, memberimu waktu untuk berpikir dan membenahi diri. Kerja kerasmu selama ini adalah sikap yang baik dan positif, asalkan kamu tahu untuk apa itu semua. Ingin kaya tidaklah salah, tapi usahakan menjadi orang kaya yang bahagia!"
***

Sahabat yang Luar Biasa!

Memiliki kekayaan sebanyak apapun tidak menjamin kebahagiaan orang. Apalagi bila memperolehnya dengan jalan yang tidak halal atau melanggar hukum alam, hukum negara, serta mengorbankan nama baik dan kehormatan diri sendiri dan keluarga. Rasanya, semua nantinya akan sia-sia.

Mari tetap semangat dalam berkarya & berikhtiar dengan cara yang positif, baik, dan halal! Bangun kesuksesan dengan seimbang tanpa mengesampingkan kebahagiaan diri sendiri apalagi keluarga.

Salam sukses, Luar Biasa!


Sumber: http://www.andriewongso.com/artikel/aw_artikel/4324/Kekayaan_dan_Kebahagiaan/

Read More......

You are raising a child, not a hero

Beberapa tahun terakhir ini saya melihat banyak sekali “fotokopi” orangtua macam saya waktu baru punya anak satu. Saya mengakui bahwa di awal-awal menjadi orangtua, saya ingin memiliki anak terbaik di negeri ini kalau perlu di dunia. Sayangnya cita-cita itu sempat terhenti ketika dokter memvonis putri pertamaku akan mengalami autism.
Tapi aku gak pernah menyerah, berkat hubungan baik dengan sahabat dokter yang meskipun jauh tetapi masih mau berbagi ilmu aku melewati banyak tahapan sulit dengan keberhasilan. Satu persatu prestasi diukir putri pertama kami, meskipun untuk anak normal itu adalah hal biasa.
Rupanya melihat keberhasilan putri kami berbicara, mandiri dan pandai membaca walaupun baru TK, aku semakin asyik dengan keinginanku untuk menjadikan putriku juara di sekolah. Aku mendidik dengan keras, memasukkannya ke tempat kursus dan bahkan menangani semua hubungan sosialisasinya dengan teman2nya. Demi putriku juga, aku memutuskan berhenti kerja dan sepenuhnya mendedikasikan semuanya untuk dia.
Hal ini berlanjut pada putraku yang jauh lebih cerdas. Kemampuan mathnya dan nalar sangat baik bahkan seimbang. Hal-hal ini membuatku semakin tenggelam menjadikan putra-putriku murid-murid berprestasi. Lomba melukis, mewarnai, menyanyi, prestasi di kelas harus rangking minimal 3, hafal berlembar2 Alquran atau surah2 pendek adalah targetku selama tahun-tahun tersebut. Suamiku tak pernah berkomentar apapun tentang hal itu selain keinginannya mengajarkan anak-anak beribadah. Kami memang berbagi tugas, aku mengajarkan pendidikan umum sementara suamiku mengajarkan anak-anak tentang Agama Islam. Seringkali ketika ia mencoba berbicara, aku telah memotong dan memintanya untuk respek dengan caraku. Suamiku, yang sesungguhnya tak suka dengan caraku, berusaha menerima karena ia tahu aku tergolong pribadi yang keras. Dia memang ingin anak-anak kami lebih seperti diriku dibanding dia dalam soal prestasi.
Lalu suatu hari setelah putri ketiga kami lahir, Allah S.W.T. memperlihatkanku beberapa hal yang mengusik hati. Putriku sering diganggu teman2 sekelasnya, karena di kelas ia yang paling muda, agak introvert dan juga cengeng. Putraku yang jadi sangat pendiam dan jarang bergerak. Prestasi mereka memang masih sangat bagus, tapi aku melihat tak ada kebahagiaan di mata mereka seperti mereka batita dulu. Senyum Reza hanya terlihat kalau kami berlibur atau bersantai di suatu tempat rekreasi, kalau sudah disuruh belajar, senyumnya langsung lenyap dan dia keliatan sekali seperti terpaksa. Cindy memang lebih baik dalam mengontrol emosinya, tapi dia jadi seringkali berbohong dan menghindari kedatanganku ke sekolahnya karena takut aku bertanya2 tentang pelajarannya. Belum lagi mereka sering jadi bulan-bulanan anak yang lebih besar karena usia anak-anakku memang dua tahun lebih muda dari usia sekolah seharusnya.
Kesedihan karena mengetahui hal ini,membuat aku curhat pada seorang teman yang berprofesi sebagai guru. Sahabatku yang jauh lebih muda sekitar 8 tahunan itu memang ahlinya karena selain udah sarjana, dia mendalami psikologi untuk S2nya. Darinya aku belajar sangat sangat sangat banyak. Bu Cici tak banyak mengajariku, dia hanya memintaku untuk berada dalam posisi anak-anak, belajar memahami perasaan mereka, dan melihat dari sisi anak-anak.
Tadinya gak ngerti, sampai aku melihat seorang anak di kelas TK A Reza muntah2 setelah menjalani test. Aku melihat lebih dari satu kali, para ibu yang bolak balik sekolah dan rumah, yang mengalami dilema saat melihat anak-anak mereka meraung ketika ditinggalkan di sekolah tanpa orangtua. Belum lagi ketika anak-anak mereka ternyata tak mampu mengikuti pelajaran di sekolah, bukannya mendengarkan para guru, mereka malah lebih menyalahkan kemampuan guru.
Kemudian aku juga banyak mendengar dari teman-temanku yang berprofesi sebagai guru di sekolah. Mereka sering mengeluh tentang anak-anak yang terlalu kecil untuk disekolahkan. Mereka lebih banyak kehabisan waktu untuk mengurusi anak-anak itu karena mereka tak bisa pipis sendiri, harus selalu ditemani karena tubuh mereka rentan kalau jatuh, masih suka menangis seperti bayi kalau ditinggal dan terkadang harus berurusan dengan orangtua yang terlalu protektif dan ingin anaknya diperlakukan lebih istimewa daripada yang lain karena usianya yang jauh lebih kecil.
Padahal sekolah adalah tentang kehidupan anak-anak belajar mandiri, belajar tentang banyak hal kehidupan di luar rumah dan menyiapkan mereka untuk kehidupan dewasa mereka kelak. Sayangnya terlalu banyak orangtua yang tak paham bahwa tugas GURU tidaklah sama dengan tugas baby sitter.
Lalu suatu hari seorang kepala sekolah salah satu TK bercerita padaku. Waktu itu aku keheranan melihat ia tampak sibuk berbenah. Dari situ aku menjadi tahu bahwa ada penilik sekolah yang datang dan ia berusaha menyembunyikan buku-buku anak-anak yang mengajarkan tentang menulis dan membaca. Setelah kejadian itu aku bertanya banyak padanya. Dia bilang bahwa di TK memang tidak seharusnya diajarkan tentang menulis dan membaca apalagi berhitung selain perkenalan saja dan kalau ketahuan, TK mereka bisa terkena masalah. Tapi tuntutan SD-SD sekarang memaksa mereka mengajari anak-anak menulis, membaca dan berhitung. Sayangnya mereka mau tak mau harus menerima anak-anak yang sesungguhnya belum siap belajar hal-hal tersebut hanya karena keinginan orangtua, hal ini karena dari pihak Yayasan atau sekolah yang berorientasi pada uang yang terkumpul dan juga jika tidak diterima maka akan ada isu atau gosip miring di luar sana yang berpengaruh bagi nama baik sekolah/yayasan. Apalagi kalau orangtua murid adalah orang-orang yang berpengaruh.
Belajar dari banyak hal yang baru kuketahui, aku mulai hunting informasi dari media forum di internet, dengan sesama orangtua wali murid, dan beberapa kenalan guru.
Aku bahkan mencari informasi pada beberapa kenalan dari luar negeri. Beruntungnya aku ternyata salah satu dari mereka adalah seorang penuis yang telah menulis banyak buku, dan dia mendedikasikan kehidupan pensiunnya untuk anak-anak. Darinya aku tahu bahwa pelajaran di Indonesia lebih berorientasi pada kemampuan otak bukan pada kemampuan berpikir. Pelajaran anak-anak SD kita lebih tinggi dari anak-anak di elementary school mereka, pelajaran di Indonesia juga terlalu banyak variasinya sementara di luar negeri anak-anak bisa memilih pelajaran dan jumlah pelajarannya sangat sedikit dengan difokuskan pada pengembangan pola pikir anak. Jika di luar sana, anak 10 tahun bisa menulis 200 kata tentang kejadian 9/11, anak-anak di negeri kita mungkin malah sibuk bertanya “memangnya ada kejadian apa? Apa itu sebuah sistem pembagian baru?”
Dan terakhir aku mengingatkan apa yang terjadi pada diriku. Dulu aku selalu berprestasi di sekolah, selalu masuk 3 besar, meskipun berpindah-pindah sekolah tetap saja prestasiku gak berubah bahkan lulus SMEA dengan prestasi nasional, bahkan beberapa kali ikut kegiatan nasional. Tapi semua itu tidak berarti ketika aku terjun ke dunia kerja. Tak ada yang bertanya tentang raportku, tak ada yang bertanya tentang berbagai prestasi yang kudapatkan. Yang mereka tanyakan adalah kemampuanku memanajemen pekerjaan, menghadapi orang-orang yang berbeda karakter, aku harus belajar dari awal cara bersosialisasi secara profesional, aku juga harus belajar mandiri karena di kantor semua orang hanya memikirkan diri mereka masing-masing. Aku bahkan tak mengira bahwa kemampuan berdandanpun harus kupelajari karena tuntutan pekerjaan, sesuatu yang paling aku tidak suka. Pekerjaan sebagai sekretaris bukan cuma bicara tentang kemampuan di atas kertas, tapi hampir seluruh kegiatan termasuk aktivitas sosial. Dulu aku tergolong anak introvert karena terlalu rajin belajar, sehingga kurang bersosialisasi. Tentu saja menyulitkan harus bisa beradaptasi dengan dunia baru yang sangat asing bagiku itu.
Dari suamiku yang kuajak berdiskusipun mengambil hikmah yang sama. Di sekolah ia tergolong anak “biasa” dan dulu lebih suka sport, melukis dan menulis, karena itu aku bertanya dari sisinya. Tetapi ia pun setuju bahwa di dunia pekerjaan, bodoh dan pintar itu tidak ada gunanya, kemampuan sosialisasi, mental dan emosional orang sangat mempengaruhi keberadaan seseorang di dunia pekerjaan.
Akhirnya aku mengambil keputusan besar. Berbekal sebuah kalimat yang menggugahku “You are raising a child, not a hero”. aku memulai cara baru menjadi orangtua. Aku berhenti mengubah dunia anak-anak. Aku mengubah tujuan hidupku untuk anak-anak. Anak-anak adalah diri mereka masing-masing, saat ini mereka belum menentukan apapun dan tugasku hanyalah membantu mereka. Kebahagiaan adalah hal penting yang harus kudahulukan untuk mereka.
Keputusan ini tentu tidak mudah untuk suami dan anak-anak yang sudah terbiasa dengan “program” mama  yang galak. Kuawali dengan tidak membatasi pergaulan mereka, tetapi memonitor secara diam-diam. Cindy boleh memakai komputer dan internet, tapi hampir setiap minggu aku mengecek facebook friendsnya. Sesekali mereka juga boleh mengundang teman-teman mereka dan menggunakan salah satu ruangan di rumah dengan syarat tak boleh masuk ke ruang sholat dan setelah itu harus dibereskan. Reza belum boleh bermain keluar rumah karena paru-paru masih sangat rentan, tapi ia boleh bermain di ruang main sepuasnya tanpa dibatasi waktu yang penting dia sudah mengerjakan PR atau belajar selama 30 menit.
Aku juga tak pernah menunggui mereka mengerjakan PR kecuali mereka yang minta, itupun aku tak pernah terlalu fokus, hanya sesekali meliriknya kalau ada yang ditanyakan. Paling-paling mereka bertanya apa arti dari kata “A” atau gimana caranya. Jika berkali2 dijelaskan mereka tetap tak bisa, aku membiarkan mereka mengosongkan jawabannya. Guru-guru mereka sudah tahu kalau itu artinya anakku belum paham.
Cindy yang selalu berantakan (kayak mamanya dulu) kubiarkan dia menghadapi jadwalnya yang padat sesuai permintaannya, aku sudah menawarkan untuk pindah sekolah atau mengurangi kegiatannya tapi dia tidak mau. Dulu biasanya aku yang menyiapkan segalanya untuk nya, sekarang meskipun aku tahu ada yang tertinggal aku membiarkannya, beberapa kali aku dimarahi olehnya karena tak mau membantunya, tetapi aku menjawab dengan santai “Tapi akhirnya tidak ada masalah kan!” Rupanya program “everything must be perfect”ku dulu tertular padanya. Aku ingin mengajarinya bahwa tak semua selalu sesuai dengan rencana, dan dia harus pandai menghadapi situasi tersebut. Misalnya ketika ia lupa membawa mukena, ia akhirnya belajar meminjam pada temannya atau ketika ia lupa mengerjakan membawa PRnya, ia belajar bernegosiasi dengan gurunya dengan meminta gurunya meneleponku untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar sudah mengerjakan PR. Prestasinya juga tidak melorot tajam, justru jauh lebih baik karena sekarang dia lebih ceria, lebih mudah diajak bicara, bisa kumintai tolong dan paling penting dia mau bercurhat ria dengan mamanya….
Reza mungkin belum sepenuhnya kembali. Tapi setidaknya kini dia lebih ceria, mengerjakan PR pun meski lama tetapi hasilnya sangat baik. Aku mengajaknya bicara setelah awal semester guru kelasnya bilang Reza naik percobaan enam bulan. Aku bilang aku tidak masalah kalau Reza tidak naik kelas, tapi kalau Reza sendiri bagaimana dan dia menjawabnya dengan santai “yang gapapalah ma, enak lagi diajarin bu nuraini yang baik lagi”. Maka setelah itu akupun bicara pada guru kelas 2nya, tak apa kalau reza memang harus kembali duduk di kelas 1 dan harus mengulang. Aku tak mau menuntutnya dengan berbagai pelajaran kalau memang dia tak mampu, dan aku meminta gurunya pun tidak memaksanya.
Aku tahu pasti guru anakku terkejut mendengarku bicara seperti itu. Suamiku saja langsung terdiam. Tapi setelah kujelaskan kenapa, dia tampak senang. Hasilnya, putraku lebih santai dan belajar juga dengan hati senang. Prestasinya memang biasa-biasa saja, tapi secara keseluruhan ia terlihat lebih bahagia. Kami juga lebih dekat satu sama lain. Ia pun mulai berani memelukku sama seperti ketika usia batita dulu.
Anakku yang kedua ini tergolong picky eater dengan kesehatan yang sangat rentan. Setelah kuberi kebebasan memilih aktivitasnya, ia langsung meminta diikutkan dalam eskul bola dan taekwondo. Walaupun sedikit ngeri, tapi aku harus konsisten. Kini ia kelihatan lebih sehat, jarang memilih-milih makan seperti dulu, karena sekarang dia makan dengan lahap dan kadang-kadang sambil bercerita penuh semangat  kalau dia berhasil melakukan tendangan ke gawang atau berhasil mengalahkan sparing patnernya di Dojo. Aku jadi terenyuh saat teringat dia dulu harus menjalani eskul Marawis. Aah, suamiku saja tertawa setiap kali dia teringat hal itu.
Untuk putri ketigaku, sudah pasti aku tetap menjalani sistemku ini. Meskipun aku tahu, Fira adalah anak kami dengan kecerdasan yang tinggi. Aku tetap konsisten untuk menyekolahkan saat usianya benar-benar sesuai. Karena aku tahu, meskipun cerdas dan mampu bersekolah di usia yang sama dengan kakak2nya, Fira masih belum mampu mengendalikan emosinya. Maklum anak terakhir, dan dia terlahir lucu seperti mamanya (ehem… :)) apalagi hampir semua keinginanku ada padanya. Dia terlahir dengan tubuh sehat, tanpa penyakit bawaan seperti kedua kakaknya, cerdas dan parasnya gabungan dariku dan ayahnya. Seharusnya dia lahir melalui operasi caesar di hari ulang tahunku, tapi aku memilih mengundurkannya beberapa hari karena saat itu Ibuku belum datang, satu-satunya orang yang bisa kupercayai menjaga anak-anakku saat itu. Fira hampir sempurna sebagai anak yang “kupesan” pada Allah, sehingga aku tak mau merusaknya seperti kedua kakaknya.
Aku sudah lama melupakan berbagai aturan diktator yang pernah kubuat dan mengubahnya jadi 3 aturan saja, Yaitu tidak boleh memukul adik atau kakak, tidak boleh berbohong terutama pada orangtua dan terakhir tidak boleh mencuri atau mengambil milik orang tanpa izin. Tiga aturan yang sangat penting untuk hidup mereka sekarang dan nanti.
Jadi kini aku berkata, Aku tak membesarkan calon pahlawan yang sempurna, yang pintar, atau yang berprestasi, tapi aku membesarkan seorang anak dengan segala macam kelebihan dan kekurangan mereka. Aku ingin mereka belajar bahwa tak perlu jadi sempurna asalkan mereka mampu menjalani kehidupan ini dan paling penting mereka bahagia menjadi anak-anakku. Prestasi hanyalah sesuatu yang ditambahkan sebagai bonus, bukan karena keterpaksaan.
***

Read More......

Kisah Inspirasi Untuk Para Istri & Suami

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
***

Read More......

Arti Ayah untuk Seorang Gadis Kecil

Gadis kecil itu sedang bersiap-siap ke sekolah, ia menghabiskan sarapan paginya penuh semangat. Hari ini adalah hari dimana ia harus berbicara tentang ayah. Ibu kelihatan kuatir karena tahu apa yang hadapi putrinya nanti. Ia berbisik agar si kecil yang ceria tak usah masuk sekolah saja hari ini, tetapi si anak berkuncir dua itu hanya tertawa dan berkata ini "Ini kesempatan memberitahu teman-temanku siapa sebenarnya ayahku, ibu.” 
Mereka tiba di ruang pertemuan sekolah. Ruangan itu ramai dengan para ayah yang menemani putra-putri mereka, malah beberapa dari ibu mereka juga ikut mendampingi. Hanya si gadis kecil yang duduk bersama ibunya. Ibunya menunduk menyembunyikan kegalauan sementara si putri sibuk menyapa teman-temannya dengan riang. 
Satu persatu anak-anak maju ke depan, bercerita tentang ayah mereka. Si gadis kecil memperhatikan dengan seksama membuat si ibu semakin gundah. Tangannya yang gemetar tak mampu mengusir kekuatiran menunggu giliran si gadis kecil. 
Akhirnya tibalah giliran si gadis kecil. Saat ia berdiri, sang ibu sempat ragu namun si gadis kecil meraih tangannya dan mengajaknya ke depan. Mereka berjalan di tengah pandangan sinis orang-orang yang berbisik “ayah macam apa yang tak bisa menemani putrinya di hari sepenting ini.” Si ibu duduk di mana seorang ayah seharusnya duduk menemani si gadis kecil dan di depannya si gadis kecil memulai kisahnya tentang ayah. 
Ayah yang kukenal bukanlah ayah yang menemaniku bermain bola, bukan ayah yang bisa menciumku setiap saat dia inginkan, bukan ayah yang bisa kusambut ketika ia pulang kerja, juga bukan ayah yang bisa membelaku saat aku diganggu anak yang nakal, dia  juga bukan ayah yang bisa menemaniku saat aku sedang sakit, bahkan ayah tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun untukku walaupun sekali saja. Tetapi bukan karena ayahku jahat atau terlalu mementingkan pekerjaannya, ayahku mungkin terlalu baik hingga Tuhan ingin ayah bersamaNya. Aku tak membenci Tuhan karena aku tahu Tuhan sangat sayang padaku dan Ayah, Tuhan pasti punya rencana lain untuk kami hingga ia memisahkan aku dan ayah.” 
Gadis kecil terdiam dan memandang kesekelilingnya, menatap wajah-wajah di hadapannya, “Ayah memang tak pernah ada di sisiku, tapi ia menemaniku setiap saat. Setiap kali aku bersedih, aku hanya tinggal menutup mataku sejenak dan memanggil namanya. Ia akan datang meskipun cuma aku yang tahu karena hatiku merasakannya. Ketika aku rindu menatap wajahnya, foto ayah akan menemaniku dalam tidur. Ayah memang tak bisa mengajariku bermain ataupun belajar, tapi ia mengajariku menjadi anak yang mandiri karena aku tak punya ayah yang membantuku, aku belajar menjadi anak yang berani karena tak ada ayah yang membelaku, aku belajar menjadi anak berprestasi karena aku ingin ayahku bangga di surga sana, aku ingin berhasil menjadi dokter karena aku ingin ibu punya alasan untuk melanjutkan hidupnya.” 
Lalu ia diam sejenak, menutup mata dan berbisik, “aku beruntung karena ada ibu yang menemaniku, yang membantuku mengenal ayah sejak aku bayi dan aku tahu ayah ada di sini, melihatku dengan senang karena aku sudah memperkenalkannya pada semua agar semua orang tahu betapa berartinya ayah bagiku. Suatu hari nanti jika aku bisa bertemu dengannya di surga, aku akan berkata aku mencintainya dan selalu bangga menjadi anaknya.” 
Semoga Para ayah sekarang menyadari betapa berartinya kehadiran mereka untuk anak-anak mereka.
***

Read More......

Sabtu, 06 Agustus 2011

Mengenali Orang Lain

Setiap kali Winda memperhatikan Sofi rekan kerjanya yang baru dua bulan bekerja, dia merasa heran. Meskipun masih baru, tapi Sofi ramah. Dalam waktu singkat, Sofi sudah mengenal semua orang. Dia hapal nama 12 satpam. Winda sendiri tidak hapal semua, paling banyak hanya enam nama yang dia ingat. Tapi Sofi lain, setiap pagi, begitu sampai di kantor, dia selalu menyapa para satpam sambil menyebut nama mereka dengan akrab. Bahkan Sofi tahu kalau ada yang istrinya sedang sakit, atau yang anaknya baru masuk sekolah dasar, atau yang baru kembali dari berlibur ke kampung halamannya di Lumajang karena menengok neneknya.

Winda semakin tertarik untuk mengamati Sofi. Bagi Winda, yang sudah tiga tahun bekerja, belum pernah ada karyawan yang seperti Sofi. Suatu pagi, Sofi baru saja tiba di kantor ketika kebetulan berpapasan dengan Rusdi, Presiden Direktur, yang juga baru tiba. Dengan sopan Sofi tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Kebetulan Winda sedang berada di dekat mereka.

Pak Rusdi juga tersenyum dan menjawab selamat pagi. Sofi langsung bertanya apakah kaki beliau yang terkilir minggu lalu sudah membaik. Sambil tertawa pak Rusdi menjawab bahwa kakinya sudah sembuh, tapi masih belum bisa untuk main bola.

Winda ikut tertawa mendengar jawaban beliau. Dalam hati kecilnya, dia merasa malu sendiri. Dia sendiri sudah lupa bahwa pak Rusdi minggu lalu terkilir kakinya. Tapi ternyata Sofi masih ingat. Malah, Sofi berani bertanya mengenai kondisi kaki beliau. Winda merasa, seandainya dia ingat pun, belum tentu dia berani menanyakan hal itu secara langsung.

Minggu lalu Sofi terpeleset ketika turun dari kendaraan umum. Terkilir sih tidak, hanya lecet sedikit tergores aspal. Sesampainya di kantor semua orang menanyakan kakinya yang tampak kecoklatan karena diberi obat antiseptik. Mendengar cerita Sofi, semua orang menunjukkan perasaan kesal kepada sopir kendaraan umum itu karena sudah langsung jalan ketika Sofi sedang turun, akibatnya dia terpeleset.

Para satpam menunjukkan rasa prihatin terhadap kecelakaan yang dialami Sofi. Bahkan, waktu kembali dari makan siang dan berpapasan dengan Pak Rusdi, beliaupun menanyakan kaki Sofi.

Dari sini, Winda bisa melihat dan merasakan bahwa semua orang menjadi akrab dan memberikan perhatian kepada Sofi, karena Sofi terlebih dahulu memberikan perhatian yang tulus kepada orang lain. Sofi tidak mencari muka. Pertanyaan Sofi mengenai anak satpam yang sakit sama tulusnya dengan pertanyaannya mengenai kaki pak Rusdi yang terkilir. Sofi membuat semua orang merasa penting.

Suatu hari Winda sengaja mendatangi Sofi untuk bercakap-cakap. Winda menanyakan pada Sofi mengapa dia bisa mengingat semua nama karyawan lainnya. Mengapa Sofi bisa mengingat keadaan keluarga mereka, siapa yang istrinya sakit, siapa yang anaknya baru disunat, siapa yang sudah tidak masuk kerja dua hari, dan sebagainya. Sofi sendiri bingung ketika ditanya begitu.

Selama ini Sofi hanya bertindak spontan. Tanpa disadarinya dia membuat semua orang merasa diri mereka penting. Sofi merasa tidak pernah dengan sengaja mengingat nama semua orang, atau mengingat keadaan istri dan anak-anak mereka.

Spontan... 

Dia mengaku bahwa semua pertanyaannya tentang istri dan anak mereka itu muncul dengan sendirinya pada saat berhadapan dengan orang yang bersangkutan. Seperti ketika berhadapan dengan Pak Rusdi, Sofi secara spontan ingat tentang kaki beliau yang terkilir sehingga dengan spontan juga dia menanyakan hal itu.

Winda melihat bahwa Sofi tidak bohong. Berhari-hari dia mengamati Sofi. Pada saat masuk kantor, saat makan siang, saat bekerja dan saat selesai kerja. Akhirnya Winda menemukan satu kesimpulan yang diyakininya pasti benar.

Sofi mudah mengingat nama orang lain karena dia benar-benar memperhatikan mereka secara tulus. Sofi selalu sibuk bekerja, tapi pada saat berkenalan dengan seseorang, Sofi benar-benar mendengarkan siapa nama mereka.

Ketika tanpa sengaja dia mendengar ada yang istrinya sakit, Sofi benar-benar ikut merasa sedih mendengarnya. Sehingga ketika bertemu dengan orang itu, Sofi secara spontan menanyakan istrinya. Bukan sekadar basa-basi.

Winda sadar bahwa ternyata sikap Sofi didasari dari hati yang tulus. Tapi Winda penasaran, masak sih dia tidak bisa bersikap seperti Sofi? Tentu saja dengan caranya sendiri, karena dia ingin bersikap tulus, bukan sekadar meniru Sofi.

Winda mulai membuat buku catatan. Dia mulai dengan mendaftar semua nama karyawan di kantor. Di rumah, dia membaca ulang dan menghapalkannya. Tak terasa, seminggu kemudian dia merasa lebih memperhatikan orang lain.

Karena takut lupa, Winda seringkali menuliskan kejadian-kejadian penting yang dialami orang lain. Tapi, ketika dia merasa telah mulai tumbuh minat untuk lebih mengenal orang lain, maka tanpa sengaja, ternyata memang lebih mudah mengingat hal-hal yang menimpa mereka. Sofi benar. Winda hanya tinggal menumbuhkan minat untuk memperhatikan orang lain, maka keramahan dan perhatian akan timbul dengan sendirinya. Make friends and know your friends!

***

Sumber: http://www.emotivasi.com/2008/07/29/mengenali-orang-lain/

Read More......

Kisah Sang Profesor & Si Nelayan

Suatu hari bertemulah dua orang sahabat lama di kampung pesisir sebuah pantai. Keduanya dulu sahabat dibangku SD dan SMP. Atas perjalanan sang waktu dan kesempatan maka selepas dari SMP maka mereka menjalani kehidupan masing-masing, yang satu pergi merantau ke kota untuk meneruskan jenjang pendidikannya hingga menjadi Professor dan satunya tetap tinggal di kampung nelayan menjalani kehidupan menjadi nelayan sejati.

Rentang waktu beberapa puluh tahun maka suatu hari Sang Professor pulang kampung mengunjungi sanak-saudara dan keluarga beserta teman-teman lamanya. Bertemulah kedua sahabat itu dan kemudian saling melepas kangen. Sebagai bentuk reuni mereka maka teman yang berprofesi sebagai nelayan mengajak temannya yakni Sang Professor untuk naik perahu kecil memancing ikan ke tengah lautan.

Dalam perjalanan ke tengah laut terjadilah dialog yang menarik antara dua kawan lama ini.
“Apa kamu bisa bebahasa inggris?”, tanya sang professor kepada si nelayan.

“Wah, terus terang saja saya tidak sempat belajar bahasa Inggris karena aku hanya belajar sampai SMP dan kemudian menjadi nelayan setiap pagi & sore.” jawab si nelayan dengan ringan dan sedikit malu-malu.

“Rugi sekali kamu tidak bisa bahasa Inggris, dengan bahasa Inggris kamu bisa mempelajari aneka ilmu, berkeliling dunia, merantau dan bisa menjadikan kamu kaya raya. Sebaliknya jika kamu tidak bisa bahasa Inggris berarti kamu sudah kehilangan 50% hidupmu”, sahut sang professor dengan nada yang mulai menampakkan keunggulan & kesombongannya.

Kemudian professor bertanya lagi, “Kalau ilmu matematika kamu bisa tidak?”.

Dengan malu yang makin besar, maka suara lirih sang nelayan menjawab parau, “Apalagi ilmu matematika, kamu tentu tahu sendiri lah dengan bekal aku cuma lulusan SMP pasti tidak tahu banyak tentang Matematika”. Jawaban si nelayan menjadikan sang professor makin besar kepala dan merasa lebih dari sahabat lamanya.

Tiba ditengah laut tiba-tiba cuaca berubah menjadi mendung, dan ombak hujan bercampur angin lebat menerpa perahu kecil kedua sahabat tersebut. Melihat kondisi ini sang professor menjadi sangat ketakutan dan memegang erat-erat tepian perahu.

“Tenang saja kawan, ombak ini insya allah tidak akan membinasakan kita. Ini biasa terjadi kalau cuaca seperti ini”, celetuk si nelayan memberikan penerangan kepada sang professor.

“Kita tidak usah takut. Jika ombak menghempaskan perahu ini maka kita tinggal berenang beberapa ratus meter dari sini, maka kita akan sampai ke daratan pantai”, tambah si nelayan. Mendengar ucapan itu maka makin takutlah sang professor dan mendekap erat si nelayan.

Sang professor kemudian berkata, “Justru karena saya tidak bisa berenang maka saya takut jika perahu ini terbalik dan ombak menghempasakan kita di tengah laut”, berkata dengan penuh ketakutan.

“Wah percuma kamu jika jadi professor tidak bisa berenang, kalau tidak bisa bahasa Inggris & Matematika tadi kamu katakan akan kehilangan 50% hidupmu, tapi jika saat ini kamu tidak bisa berenang maka kamu akan kehilangan 100% hidupmu.”

Kesimpulan :
1.Jika kita mempunyai kelebihan maka kita tidak boleh mencela dan menghina kekurangan orang lain karena bisa jadi kita banyak kelebihan disisi yang lain tapi banyak juga kekurangan disisi yang lainnya.
2.Hiduplah saling mengisi agar kehidupan ini menjadi saling melengkapi dan semakin indah.

Sumber: http://www.emotivasi.com/2008/08/08/kisah-sang-professor-dan-si-nelayan/

Read More......

Kisah Keluarga Burung

Alkisah di suatu negeri burung, tinggallah bermacam-macam keluarga burung. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Mulai dari yang bersuara lembut hingga yang bersuara menggelegar. Mereka tinggal di suatu pulau nun jauh di balik bukit pegunungan. Sebenarnya selain jenis burung masih ada hewan lain yang hidup di sana. Namun sesuai namanya negeri burung, yang berkuasa dari kelompok burung. Semua jenis burung ganas, seperti, burung pemakan bangkai, burung Kondor, burung elang dan rajawali adalah para penjaga yang bertugas melindungi dan menjaga keselamatan penghuni negeri burung.

Burung-burung kecil bersuara merdu, bertugas sebagai penghibur. Kicau mereka selalu terdengar sepanjang hari, selaras dengan desau angin dan gesekan daun. Burung-burung berbulu warna warni, pemberi keindahan.
Mereka bertugas bekeliling negri melebarkan sayapnya, agar warna-warni bulunya terlihat semua penghuni. Keindahan warnanya menimbulkan kegembiraan. Dan rasa gembira bisa menular bagai virus, sehingga semua penghuni merasa senang.

Pada suatu ketika, seekor induk elang tengah mengerami telur-telurnya. Setiap pagi elang jantan datang membawa makanan untuk induk elang. Akhirnya, di satu pagi musim dingin telur-telur mulai menetas. Ada 3 anak elang yang nampak kuat berdiri. Dua anak elang hanya mampu mengeluarkan kepalanya dari cangkang telur harus berakhir dalam paruh sang ayah. Dengan tangkas, elang jantan mengoyak cangkang telur lalu mematuk-matuk calon anak yang tak jadi. Perlahan-lahan sang induk memberikan potongan-potongan tubuh anaknya ke dalam paruh mungil anak-anak elang. Kejam…? Ini hanya masalah kepraktisan.

Untuk apa terbang dan mencari makan jauh-jauh jika ada daging bangkai di dalam sarang. Sebagai hewan, elang hanya mempunyai naluri dan akal tanpa nurani. Inilah yang membedakan manusia dan hewan.

Waktu berjalan terus, hari berganti hari. Anak-anak elang yang berbentuk jelek karena tak berbulu, kini mulai menampakkan keasliannya. Bulu-bulu halus mulai menutupi daging di tubuh masing-masing. Kaki kecil anak-anak elang sudah mampu berdiri tegak.

Walau kedua sayapnya belum tumbuh sempurna. Induk elang dan elang jantan, bergantian menjaga sarang. Memastikan tak ada ular yang mengincar anak-anak elang dan memastikan anak-anak elang tak jatuh dari sarang yang berada di ketinggian pohon. Suatu pagi, saat induk elang akan mencari makan dan bergantian dengan elang jantan menjaga sarang. Salah seekor anak elang bertanya: “Kapankah aku bisa terbang seperti ayah dan ibu?” Induk elang dan elang jantan tersenyum, bertukar pandang lalu elang jantan berkata: “Waktunya akan tiba, anakku. Jadi sebelum waktu itu tiba, makanlah yang banyak dan pastikan tubuhmu sehat serta kuat”. Usai sang elang jantan berkata, induk elang merentangkan sayapnya lalu mengepakkan kuat-kuat.

Hanya dalam hitungan yang cepat, induk elang tampak menjauhi sarang. Terlihat bagai sebilah papan berawarna coklat melayang di awan. Anak-anak elang, masuk di bawah sayap elang jantan. Mencari kehangatan kasih sang jantan.

Waktu berjalan terus, musim telah berganti dari musim dingin ke musim semi. Seluruh permukaan pulau mulai menampakan warna-warni dedaunan. Bahkan sinar mentari memberi sentuhan warna yang indah. Anak-anak elang pun sudah semakin besar dan sayapnya mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar. Suatu ketika seeor anak elang berdiri di tepi sarang, ketika ada angin kencang, kakinya tak kuat mencengkram tepi sarang sehingga ia meluncur ke bawah. Induk elang langsung merentangkan sayang dan mendekati sang anak seraya berkata: “Rentangkan dan kepakan sayapmu kuat-kuat!”

Tapi rasa takut dan panik menguasai si anak elang karenanya ia tak mendengar apa yang dikatakan ibunya. Elang jantan menukik cepat dari jauh dan membiarkan sayapnya terentang tepat sebelum si anak mendarat di tanah. Sayap elang jantan menjadi alas pendaratan darurat si anak elang.

Si anak elang yang masih diliputi rasa panik dan takut tak mampu bergerak. Tubuhnya bergetar hebat. Induk elang, dengan kasih memeluk sang anak. Menyelipkan di bawah sayapnya dan memberikan kehangatan. Sesudah si anak tenang dan tak gemetar, induk elang dan elang jantan membawa si anak kembali ke sarang.
Peristiwa itu menimbulkan rasa trauma pada si anak elang. Jangankan berlatih terbang dengan merentangkan dan mengepakkan sayap. Berdiri di tepi sarang saja ia sangat takut. Kedua saudaranya sudah mulai terbang dalam jarak pendek. Hal pertama yang diajarkan induk dan elang dan elang jantan adalah berusaha agar tidak mendarat keras di dataran.

Lama berselang setelah melihat kedua saudaranya berlatih, si elang yang pernah jatuh bertanya pada ibunya: “Adakah jaminan aku tidak akan jatuh lagi?” “Selama aku dan ayahmu ada, kamilah jaminanmu!” jawab si induk elang dengan penuh kasih.”Tapi aku takut!’ ujar si anak. “Kami tahu, karenanya kami ta memaksa.” Jawab si induk elang lagi. “Lalu apa yang harus kulakukan agar aku beraai?” tanya si anak. “Untuk berani, kamu harus menghilangkan rasa takut!”. “Bagaimana caranya?” “Percayalah pada kami!” Ujar elang jantan yang tiba-tiba sudah berada di tepi sarang.

Si anak diam dan hanya memandang jauh ke tengah lautan. Tiba-tiba si anak elang bertanya lagi. “Menurut ibu dan ayah, apakah aku mampu terbang keseberang lautan?” Dengan tenang si elang jantan berkata: “Anakku kalau kau tak pernah merentangkan dan mengepakkan sayapmu, kami tidak pernah tahu, apakah kamu mampu atau tidak. Karena yang tahu hanya dirimu sendiri!”

Lalu si induk elang menambahkan: “Mulailah dari sekarang, karena langkah kecilmu akan menjadi awal perubahan hidupmu. Semua perubahan di mulai dari langkah awal, anakku!”

Si anak elang diam tertegun, memandang takjub pada induk elang dan elang jantan. Kini ia sadar, tak ada yang tahu kemampuan dirinya selain dirinya sendiri. Kedua orang tuanya hanya memberikan jaminan mereka ada dan selalu ada, jika si anak memerlukan.

Didorong rasa bahagia akan cinta kasih orang tuanya, si elang kecil berjanji akan berlatih dan mencoba. Ketika akhirnya ia menggantikan elang jantan menjadi pemimpin keselamatan para penghuni negeri burung, maka tahulah ia, bahwa kesuksesan yang diraihnya adalah di mulai saat tekad terbangun melangkah.

Sukses itu tak pernah ada kalau hanya sebatas tekad. Tapi tekad itu harus diwujudan dengan tindakan nyata walau di mulai dari langkah yang kecil. Mulailah rentangkan dan kepakkan sayap kemampuanmu, maka dunia ada di genggamanmu!

***

Sumber: http://www.emotivasi.com/2008/08/09/kisah-keluarga-burung/

Read More......