Rabu, 08 Juni 2011

Kisah Pemecah Batu

Seorang pemecah batu karang mengeluhkan keberadaan dirinya.

"Ah, Tuhan tidak adil. Setiap bekerja aku pasti kepanasan. Betapa enaknya menjadi matahari. Ia tidak perlu bersusah-payah seperti aku. Jika Tuhan adil, aku ingin menjadi matahari."

Tuhan mengabulkan permintaan pemecah batu. Dalam waktu sekejap, ia berubah menjadi matahari. Betapa bangganya ia. Dengan sekuat tenaga, ia menyinarkan cahayanya ke seluruh bumi hingga manusia menjadi kegerahan. Tetapi, tiba-tiba awan hitam menutupi sinarnya. Cahaya yang kuat tak mampu menembusnya.

"Ah, Tuhan tidak adil. Ternyata ada yang lebih kuat daripada aku. Jika Tuhan adil, aku ingin menjadi awan hitam."

Tuhan mengabulkan permintaan matahari. Dalam sekejap, ia berubah menjadi awan hitam. Dengan congkaknya, sang awan berkeliling dunia dan menggelapkan isinya. Di tengah rasa bangganya, tiba-tiba bertiuplah angin dengan sangat kencang hingga awan hitam itu tercerai-berai. Sang awan menjadi marah.

"Tuhan, Engkau sungguh tidak adil. Ternyata angin dapat mengalahkanku. Kalau begitu, jadikan aku sebagai angin."

Dalam sekejap awan berubah menjadi angin. Dengan kekuatannya ia bertiup kencang sehingga banyak rumah dan pohon yang roboh. Ia merasa menjadi yang paling hebat hingga akhirnya ia menghantam batu karang. Tetapi, batu karang itu tetap tegak berdiri tidak goyah.


Berkali-kali ia menghantam batu karang. Tetapi, jangankan hancur, beranjak sedikitpun tidak. Angin menjadi jengkel.

"Tuhan, jadikan aku batu karang agar aku dapat menahan angin."

Tuhan sekali lagi mengabulkan permintaannya. Batu karang itu yakin bahwa tidak ada yang dapat mengalahkannya. Sampai suatu hari, ada seorang laki-laki tua dengan bertelanjang dada membawa alat pemecah batu. Sedikit demi sedikit, laki-laki itu memecah batu karang hingga menjadi batu-batu kecil. Batu karang menjadi sadar bahwa ia harus kembali menjadi pemecah batu karang. Tuhan memberi pelajaran kepada orang yang tidak pernah puas dan senang membandingkan dirinya dengan orang lain.

***

Pesan: Manusia memang tidak pernah merasa puas sehingga sering kali melihat orang lain lebih baik daripada dirinya sendiri. Kita harus mengucap syukur dan menerima diri kita apa adanya.

Sumber: Buku 'Kumpulan Ilustrasi Untuk Sekolah Minggu' oleh 'Tim Pelayanan Efata'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar